Oleh :  Irvandias Sanjaya Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pen...

Terimakasih Resilensi, Dari Kami Para Pejuang Broken Home

/
0 Comments
Oleh : Irvandias Sanjaya

Resiliensi merupakan gambaran dari proses dan hasil kesuksesan beradaptasi dengan keadaan yang sulit atau pengalaman hidup yang sangat menantang, terutama keadaan dengan tingkat stres yang tinggi atau kejadian kejadian traumatis (O’Leary, 1998; O’Leary & Ickovics, 1995; Rutter, 1987). Hal tersebut memang hanya perkataan hitam diatas putih pada lembaran kertas buku teori. Namun dari sana kita bisa melihat gambaran nyata tentang bagaimana kita harus bersikap pada kehidupan sehari-harinya.

Lalu apakah menjadi korban Broken Home merupakan sebuah situasi yang sulit dalam kehidupan dan berkorelasi dengan tingkat stres yang tinggi maupun kejadian traumatis? Jawabannya ada pada diri kita (korban broken home) masing-masing. Lantas apa sih broken home itu? Jangan-jangan kita nantinya berbicara panjang lebar mengenai broken home, tapi sebenernya kita tidak tahu apa artinya. Menurut Ulwan (2002) mengatakan bahwa yang dimaksud dengan keluarga broken home adalah keluarga yang mengalami disharmonis antara ayah dan ibu. Pernyataan Ulwan ini dipertegas oleh Atriel (2008) yang mengatakan bahwa “broken home” merupakan suatu kondisi keluarga yang tidak harmonis dan orang tua tidak lagi dapat menjadi tauladan yang baik untuk anak-anaknya. Bisa jadi mereka bercerai, pisah ranjang atau keributan yang terus menerus terjadi dalam keluarga.

            Penjelasan diatas memang ibarat setetes air diantara hamparan luas samudera. Semua orang boleh mendefinisikan arti dari broken home dari sudut pandang kita masing-masing. Bahkan kita yang merasa hidup dikeluarga yang biasa-biasa saja dan bahkan dikelilingi segala kemewahan dunia sekalipun dengan orangtua yang tidak mempunyai masalah, jika kita merasa bahwa kita adalah korban dari broken home, maka semua orang tidak boleh melarangnya. Karena kembali, masing-masing orang boleh mempersepsikan suatu stimulus menurut apa yang kita definisikan secara subjektif.

            Disini saya tidak tahu apakah saya sekarang ini menjadi korban dari situasi broken home atau tidak. Saya sendiri masih bingung karakteristik dan detail seperti apa yang bisa membuat prejudice bahwa seseorang terdiagnosis secara klinis terkena broken home. Dan sebenernya apakah broken home ini sendiri sebagai penyebab atau malah sebagai akibat dari adanya stres, kejadian yang traumatis dan bahkan membuat seseorang kehilangan semangat hidup. Saya yang selama hampir 18 tahun tinggal bersama dengan keluarga inti saya disebuah rumah yang tidak terlalu mewah di daerah Jakarta merasa ada yang berubah sejak hampir 7 tahun belakangan ini.

            Keluargaku memang tidak kenapa-kenapa. Kami sebagai anak dan mereka sebagai orangtua tidak merasakan ada yang berbeda. Kami sebagai anak tetap bersekolah, belajar dan berbakti kepada mereka layaknya anak normal. Orangtua kita pun masih tetap bekerja mencari nafkah dan sebisa mungkin memberikan perhatian, kasih sayang (materil/non materil) seperti biasa. “Biasa” disini berbeda dengan biasa-biasa dikeluarga lainnya. Saya dan adik yang dari kecil sudah didoktrin dengan sebuah paradigma “Pendidikan adalah nomor satu” selalu mendapatkan prioritas pertama dalam hal akademik. Bahkan orang tua saya pun tidak sayang jika mereka harus merogoh kocek yang tidak sedikit agar anak-anaknya meraih pendidikan setinggi mungkin. Saya dengan jujur mengatakan bangga sekaligus terharu dengan pengorbanan apa yang telah mereka berdua lakukan kepada saya. Bahkan saya tidak yakin orangtua lainnya akan berbuat yang sama seperti apa yang orangtuaku lakukan selama ini. Terimakasih mah, pah.

            Lantas dimana duduk permasalahannya? Sepertinya keluarga saya baik-baik saja, hidup rukun, sakinah mawadah warohmah dan ibarat Family wanna be. Jika iya dan masih beranggapan seperti itu, mungkin teman-teman masih terjebak dalam nuansa hallo effect. Hallo effect adalah kesan positif atau negatif yang kita dapat dari orang yang baru kita temui berdasarkan karakteristik tertentu. Hallo effect ini pertama kali diteliti oleh Edward .L. Thorndike. Singkatnya, efek halo adalah sebuah pandangan singkat dan sekilas dari tampilan fisik/luar terhadap sesuatu. Jika kita kaitkan dengan konteks keluarga broken home, mereka yang (mungkin) terkena broken home akan terlihat normal dari tampilan luar/fisik (bagaimana mereka membangun relasi dengan dunia luar) dan seakan keluarga tersebut tidak sedang terkena sebuah “musibah” apa-apa. Kasarannya, aku rapopo. Namun jika kita menelisik lebih jauh tentang kehidupan keluarga tersebut secara lebih mendalam, disana kita akan menemukan sebuah keroposan yang secara terang-terangan maupun tersembunyi yang ditunjukan oleh keluarga broken home.

            Selamat datang dikeluarga kami. Hal diatas bisa dibilang proyeksi dari apa yang selama ini kami (saya) rasakan. Orang-orang luar bahkan keluarga terdekat kami pun melihat bahwasanya keluarga kami layaknya keluarga normal lainnya. Entah kenapa dan bagaimana, rasanya keluarga ini sudah sangat berbeda sejak ada sebuah kejadian yang tidak diinginkan datang dan menimpa keluarga ini. Saya yang saat itu masih berada dikelas 2 SMP merasa bingung dan harus menerima keadaan bahwa selama 1 tahun lebih, saya hanya diasuh oleh satu orangtua dengan keadaan saat itu Ibu dan Ayah belum bercerai namun berpisah karena adanya faktor orang ketiga. Disana yang notabene masih belum terlalu mengerti seperti di ‘nina-bobokan’ oleh keadaan. Saya dan adik yang waktu itu berada bersama ibu dirumah harus rela menahan rindu untuk hanya bertemu dengan sosok ayah seminggu sekali. Pertengkaran mereka tidak ada yang tahu asal usulnya. Bahkan hingga sekarang ketika saya tanya kepada kedua belah pihak, mereka cenderung menutupi dan mengalihkan kepada isu pendidikan. Seolah dengan pendidikan, segala macam masalah dapat tertutupi, seakan dengan pendidikan semua jenis problematika hidup tidak datang menghampiri.

            Kembali pada masa SMP silam, keadaan keluarga kami memang sempat membaik. Ayah dan Ibu kembali dipersatukan tepat pada hari ulang tahunku ke-14. Hari itu seakan menjadi hari terspesial dalam hidupku. Aku yang saat itu masih ‘merengek’ meminta diberikan sebuah hadiah seketika langsung diam terpana ketika melihat Ayah dan Ibu kembali berpelukan didepan mataku. Aku dan adik tidak perlu lagi untuk bertemu secara diam-diam dengan Ayah ketika kita memerlukan sesuatu hal. Namun kebahagiaan tersebut seakan tidak mau bertahan lama dikeluarga kami. Ayah yang memang sewaktu dulu hingga sekarang memang lebih sering tugas berpergian keluar kota setiap minggunya semakin memunculkan spekulasi “Apakah keluarga ini akan kembali seperti dahulu?” Aku yang dahulu masih memiliki pandangan positive dan menganggap hal ini ibarat bumbu-bumbu penyedap rumah tangga memunculkan stigma dan anggapan “Ah, nanti pasti kalau aku ulang tahun lagi pasti mereka akan kembali seperti dahulu lagi”.

            Sayang seribu sayang, hal tersebut tidak kesampaian. Bahkan sampai aku melewati 6 kali masa ulang tahun, kejadian indah seperti dahulu tidak terulang kembali. Aku sebagai anak saat ini hanya dapat pasrah. Aku sendiri mengakui bahwa kedua watak dari Ayah dan Ibu sama-sama keras. Mereka memiliki prinsip akan kehidupan, mengelola keuangan, dan mendidik anak yang menurutku agak sedikit sama, namun berbeda dalam hal penerapannya. Ayah yang terkenal dengan sikap tegas, lugas dan dihormati ketika sedang menjalani tugasnya sebagai seorang pemimpin diluar mempunyai cara pandang kehidupan yang sebisa mungkin tidak terlalu boros dalam bertindak, agama yang kuat, dan menilai pendidikan itu perlu, namun tidak menjadi patokan utama dalam dijadikan kriteria kesuksesan yang ulung. Masih banyak hal diluar sana yang dapat dilakukan diluar kegiatan akademik. Hal itu ditunjukan ketika beliau harus menyelesaikan perkuliahan S1-nya dalam jangka waktu yang tidak sebentar (8 tahun) karena kesibukannya yang beliau selalu rindukan sampai saat ini menjadi seorang Aktivis kampus. Meskipun pada akhirnya, satu hal yang saya sayangkan, beliau semacam kehilangan kharismanya ketika sudah berada didalam keluarga.

            Mamahku adalah sesosok wanita cerdas, pintar, ahli Hukum tulen yang mempunyai pandangan bahwasanya “Kita boleh menikmati kehidupan asal selama Ilmu masih dikandung badan”. Beliau yang jika aku tarik pada saat masa kuliah bertolak belakang dengan kondisi ayah mencoba menanamkan idealisme akan sebuah tatanan nilai yang dianggapnya benar dan selalu over protektif terhadap sang anak. Beliau yang saat ini bekerja sebagai seorang Pegawai Negeri Sipil golongan “atas” ini mempunyai sebuah kekurangan yang menurutku cukup harus dihindari oleh perempuan lainnya, yaitu terkait tingginya ego beliau baik diluar dan didalam rumah. Ditambah gaji beliau lebih tinggi dari sang suami semakin menambah kekuatan beliau dalam mengambil posisi dalam keluarga.

            Mungkin mereka berdua lupa dan masih menganggap bahwa keluarga ini hanya diisi oleh mereka berdua saja. Anak hanya dijadikan alat pelengkap yang dititipkan oleh Tuhan. Mereka lupa, bahwasanya keluarga adalah ekosistem terkecil yang dimiliki oleh seorang individu. Jika menelisik teori Bronfenbreiner tentang ekologi manusia yang menyatakan bahwa sejatinya manusia memiliki lima ruang lingkup dalam kehidupannya, dan masing-masing dari kelimanya saling berkaitan. Mulai dari mikrosistem yaitu pada bagaimana dan dimana anak tersebut mengahabiskan banyak waktu luang. Sistem ini adalah anak yang lebih berinteraksi kepada semua orang termasuk  keluarga, teman sebaya, sekolah, dan tetangga. hingga kronosistem yang menitik beratkan pada kondisi sosio historis dari perkembangan orang. Disana diibaratkan jika dari titik terkecil sudah mengalami sebuah permasalahan, maka kedepannya adalah ibarat bola salju yang terus membuntuti.

            Hal ini nyata adanya, aku yang selalu merasa iri dengan teman-teman lainnya ketika sudah membicarakan masalah keluarga serasa ingin berteriak kepada Tuhan “Mengapa engkau tidak memberikan keluarga seperti yang lainnya?” Aku yang tidak merasakan rasa kasih sayang, rasa cinta dan perhatian dari keduanya merasa terkadang bingung untuk mengungkapkan keluh kesah yang kuterima disekolah (pada saat SMP dan SMA) kepada mereka berdua karena aku yakin, tanpa adanya cerita dariku saja, sebenarnya mereka sudah mempunyai masalah yang sudah lama tertimbun dalam-dalam. Maka dari itu segala jenis masalah, problematika tentang nilai akademik, relasi sosial dan percintaan remaja tidak pernah kuceritakan kepada mereka.

            Entah satu paket apa memang dampak dari kejadian tersebut, kehidupan saya diluar keluarga menjadi berantakan. Alih-alih mencari pelarian, saya malah ‘terlempar’ dari dunia sosial karena sikap saya yang mungkin tidak sesuai dengan harapan mereka. Saya-pun tidak segan-segan menjadi bahan bullyan orang lain karena suatu hal. Namun satu hal, saya masih merasa bersyukur karena tidak sampai terjerumus pada godaan narkotika dan pergaulan yang salah. Karena saya mempunyai prinsip bahwasanya “Kamu tidak berhak menyalahkan keadaan atas apa yang kamu lakukan/terima sekarang” Mulai dari situ saya sadar bahwasanya Tuhan mengirimkan “musibah” Broken Home ini dengan maksud dan tujuan yang jelas.

            Berbagai macam cara saya gunakan untuk mencari hikmah dibalik keadaan tersebut. Dan pada akhirnya saya memutuskan untuk “memanfaatkan” keadaan untuk hal yang saya anggap bisa mendorong diri saya untuk sampai pada level tahapan resiliensi. Pada umur saya menginjak 19 Tahun, saya berpindah tempat ke Yogyakarta untuk melanjutkan masa jenjang studi sarjana. Jika anak-anak rantau lainnya merasa sedih karena harus berpisah dengan keluarga, maka mungkin saya adalah satu-satunya/sebagian kecil dari mereka yang merasa “terbebas” dari belenggu permasalahan broken home. Pertamanya memang sulit untuk melepaskan diri, karena sudah ketergantungan selama hampir dari masa kanak-kanak hingga menjelang remaja akhir. Namun lama kelamaan saya merasakan sebuah “kebebasan” dalam mengeksplore diri.

            Saya yang saat itu merasa bersyukur jauh dari Orangtua karena secara tidak langsung “keluar” dari belenggu permasalahan keluarga yang ibarat benang kusut yang tidak bisa diuraikan lagi menganggap bahwa saat inilah saya menunjukan kepada mereka bahwasanya keadaan lingkungan bisa membawa dampak kepada tuannya. Mulai dari segi kehidupan yang sifatnya kecil hingga besar pun terjadi dalam diri saya. Ibarat terjadi revolusi ke arah yang entah disatu sisi positive karena saya bisa bebas dan mempunyai otoritas dalam diri atas kontrol diri saya dan tidak terganggu karena permasalahan keluarga, namun disatu sisi, saya merasa ini bersifat negative karena saya merasa “keluar dan tidak bertanggung jawab” untuk menyelesaikan permasalahan. Saya yang selalu memantau keadaan keluarga dari jarak jauh via pembantu dirumah merasa semakin sedih karena keadaan tidak kunjung membaik dan semakin diperparah karena Ayah sudah hampir 3 bulan pulang kerumah, Ibu yang tidak memperdulikan hal tersebut dan pada tahun berikutnya lebih memilih menemani menemani Adik saya pada saat berkuliah diluar kota dibandingkan dengan suaminya, “terror” dari tetangga yang menanyakan “Kok Bapak …. Tidak kelihatan ya Dek, Bu, Mas?” Kami yang terus berdalih dan menutupi dengan jawaban yang sifatnya normative dengan mengatakan “Ooh, Ayah sedang keluar kota” seakan malu dan merasa bingung entah untuk sampai jangka waktu kapan kami harus menerima pertanyaan-pertanyaan tersebut. Dan pada moment terparahnya adalah ketika Adik saya memberitakan tentang suatu hal dan ia menangis ketika beliau mendapatkan pertanyaan yang begitu mendalam bagi kalangan siswa SMA lainnya “Kok ayahmu gak pernah kelihatan baik dirumah saat kita berkunjung atau menjemput kamu disekolahan sih?” Ternyata memang benar, pepatah yang mengatakan sebusuk apapun bangkai yang disembunyikan, pada akhirnya akan tercium baunya. Saya mungkin tidak bisa berbuat banyak. Namun saya terkadang merasa kasihan dengan kondisi Adik yang harus “terguncang” psikis dan mentalnya karena permasalahan yang orangtua perbuat.


Dan terakhir, Mah, Pak, tulisan ini mungkin tidak akan sampai kepada kalian. Entah saya berasumsi atau memang kalian tidak peduli atas kehidupan kami. Muungkin aku dan adik juga belum bisa menjadi seorang anak yang membanggakan dimata kalian. Kami pun terkadang masih suka membangkang dari perintahmu. Maafkan kami juga atas dosa-dosa kesalahan kecil/besar yang kami lakukan selama ini. Kami bukan bermaksud menyakiti hati kalian. Namun apakah kalian pernah berpikir bahwasanya memendam situasi/perasaan yang negative hanya ibarat menunggu bom waktu akan meledak saja? Itulah yang kami rasakan. Kami mungkin nanti akan memiliki keluarga yang Insa Allah bahagia. Namun kalian akan menjalani masa tua. Apakah Bapak dan Mamah hanya mau berdiam-diaman saja? Apakah dengan cara seperti ini bisa membuat keadaan membaik? Ah sudahlah Pak, Mah. Kewajiban seorang anak hanya berbakti kepadamu dan saling mengingatkan diantaranya dalam kebaikan. Jika kalian rasa ini yang terbaik. Lantas kami bisa apa?

 Sumber :

     Santrock, John W. 2002. Adolescence:     Perkembangan Masa Remaja. Yogyakarta: Erlangga

     Hall, Calvin S, Gardner Lindzey. 1993. Teori-   Teori Psikodinamik (Klinis). Yogyakarta: Kanisius


Tentang penulis :

Studi saat ini di Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada. Prestasi Irvandias :
  • Founder Hipwee Community Regional Yogyakarta
  • Inisiator of Era-GON UGM
  • Co-Founder Indonesia Bisa social movement
  • Culture Ambassador of Gadjah Mada University 2015
  • Firefox Student Ambassador 2016
  • Setengah Dewa #1
  • Awarded advocacy project by Young Leader Habitat for Humanity 2016
  • Indonesia Korea Fair Cultural Exchange Program 2015
  • UGM-Kansai University Short Global Exchange Program 2015
  • Indonesia Youth Cultural Exchange, Cambodia Program 2015
  • Indonesia Singapore Entreprener Exchange Program, 2016
  • Top Best 5th Exchangers UGM 2015
  • Indonesia Singapore Exchange Entrepreneurial Program, 2016
  • Asia Pacific Urban Youth Forum, Indonesia Delegates 2015
  • Top 20th (Finalist) of Ideas Summit #2 Bussiness Plan Competition





You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts