O leh : Anonim               Langkah kakiku terseret bersama usia yang tak lagi muda. Menyusuri lorong gelap kehidupan menuju transfo...

Lentera Mungil di Sudut Kamar

/
0 Comments
Oleh : Anonim   


          Langkah kakiku terseret bersama usia yang tak lagi muda. Menyusuri lorong gelap kehidupan menuju transformasi kedewasaan bukanlah perjalanan ringan. Kata orang, bukan tujuan akhir yang terpenting, melainkan prosesnya. Sejenak aku berhenti berjalan, saat kutatap ada sebuah lentera mungil di sudut kamar entah dari mana asalnya. Ruangan itu gelap gulita dan aku hanya sendiri di sana. Dingin tembok nyaris membekukan hatiku hingga saat aku melihat tanganku, tak kusadari yang kupegang bukan sebatang korek api, melainkan pisau cutter. Sejak kapan benda itu ada di genggamanku? Kulempar jauh hingga tak nampak lagi dari pandanganku. Sudah, cukup sudah aku mencoba melarikan diri dari luka. Kali ini lebih baik kunyalakan lentera mungil di sudut kamarku.
            Perlahan api lentera itu bersinar menerangi tiap sisi kamar. Ada cermin besar di depanku dan aku melihat sosok asing di situ. Hati tak bisa menahan pertanyaan yang kuajukan ke pantulan cermin, “Siapa kamu sebenarnya?” Alih-alih pantulan itu ikut bergerak, justru dia menjawab pertanyaanku, “Aku adalah kamu.” Tiba-tiba saja jiwaku seakan tersedot masuk ke dalam cermin besar bertepi kayu hitam itu dan kamar gelap tadi hilang. Dari dunia cermin, aku melihat sesosok anak kecil perempuan berusia 6 tahun tengah menangis di kolong meja sambil memakan sepiring nasi beserta lauknya. Dia duduk sendirian saat tiba-tiba saja muncul sosok pria berwajah garang yang membuat si anak menggigil ketakutan. Beruntunglah dia, pria itu hanya melewatinya tanpa berkata apapun.
            Baru saja aku ingin menyapa anak kecil itu, dia menghilang dalam kabut dan ruangan berpindah. Kali ini si anak kecil itu sudah berusia 10 tahun dan berambut panjang sebahu. Dia berlari mencari ayahnya di ruang komputer untuk bertanya, “Ayah, aku sudah mengerjakan lukisanku, hanya tinggal mewarnai saja. Bolehkah aku istirahat sejenak untuk sarapan? Aku sudah melukis dari pukul 06.00 dan sekarang sudah pukul 09.00. Aku lapar, yah.” Sang ayah melotot dan berteriak, “Bocah goblok. Baru pekerjaan begitu saja tak becus.” Si anak kecil lari ketakutan mencari ibunya di dapur dan menceritakan apa yang baru saja ayahnya katakan. Mengetahui hal itu, ibunya mengambil makanan dan berkata, “Sudah tidak apa-apa, Ana. Ayo, kamu lanjutkan melukis, kan besok harus dikumpulkan biar kamu bisa juara. Nanti ibu suapin sambil kamu tetap menyelesaikannya ya.”
            Ternyata anak kecil itu bernama Ana. Aku melihat sang ibu duduk di sampingnya dan menyuapi Ana sembari dia menyelesaikan lukisan yang akhirnya berhasil menjuarai lomba tingkat kabupaten. Tanpa kusadari ada setetes air keluar dari tepi mataku melihat kebesaran hati ibu dari Ana. Lalu perlahan mereka menghilang dan kini menjelma menjadi ruang kelas SMP. Para murid duduk sambil menyimak penjelasan sementara Ana duduk di kursinya dengan gelisah. Bapak guru yang tengah mengajar itu tengah meletakkan tangannya di bahu Ana dan merabanya ke punggung dan berhenti di satu tempat yang membuat Ana merasa risih. Teman-teman Ana hanya bisa terdiam meski sebenarnya banyak juga yang menjadi korban dari guru itu. Mereka ketakutan jika guru itu memberi nilai jelek kalau mereka melaporkan tindakannya. Beruntunglah Ana tetap lulus dengan nilai bagus.
            Kini perlahan bangku SMP berpindah menjadi SMA dan Ana tengah duduk sendiri di kelasnya saat teman-temannya sudah pulang. Dia tertunduk menangis takut untuk pulang, hingga sahabatnya menghampiri dan membujuknya, “Sudah, tidak apa-apa. Jangan takut, kamu harus pulang. Tidak apa-apa kamu harus remidi, nanti aku bantu belajar agar kamu bisa masuk IPA seperti perintah ayahmu.” Aku melihat kejadian itu, ingin memeluk sosok Ana yang tengah terisak. Di mata ayahnya, Ana selalu nampak kurang dan ayahnya sering membandingkan dia dengan murid lain karena ayahnya seorang guru. Ana sering dibanding-bandingkan dengan saudara kandungnya dan dia sering beranggapan bahwa dia tak lebih dari bayangan kakaknya, selalu menjadi nomor dua. Ana sempat berpikir mengakhiri hidupnya saat dia kelas 2 SMA, karena lelah tak pernah diakui menjadi ‘cukup’ oleh ayahnya, meskipun Ana sudah berhasil masuk kelas IPA.
             Masalah yang dihadapi Ana semakin membuatnya tertekan saat dia berhasil menjadi mahasiswi kedokteran hewan di salah satu PTN tanpa tes karena nilainya cukup bagus sebagai syarat masuk. Ternyata hal itu masih saja mengecewakan ayahnya, hingga Ana rawat inap di rumah sakit karena muntah darah. Penyakit maag yang dia derita sudah kronis karena stres yang dia alami tak kunjung reda. Sang ayah menelepon Ana, “Nduk, ayah tak bisa menjenguk karena jauh. Besok ibu yang akan menjemput kamu pulang. Kamu selesaikan saja administrasinya dan tak usah melanjutkan kuliah di sana. Tak usah pikirkan masalah biaya, yang penting kamu pulang, istirahat di rumah, dan nanti kamu daftar kuliah lagi tahun depan. Yang penting kamu sembuh.” Mendengar itu, Ana merasa lega dan dia dijemput ibunya pulang.
            Namun semua berubah total saat Ana sudah di rumah. Ternyata apa yang ayahnya lakukan tak seperti yang sudah dikatakan. Pada satu hari, Ana diminta duduk di ruang keluarga bersama ayah di sampingnya dan ibu di depannya. Sang ayah berkata, “Kamu ini, sudah sakit-sakitan, menyusahkan saja. Kamu tahu, ayah sampai berhutang untuk membiayai kamu kuliah di sana dan membayar biaya rumah sakit. Sudah kamu tak bisa apa-apa, tak punya apa-apa, mau jadi apa kamu nanti? Cuma bisa jadi sampah!” Aku pun terhenyak kaget mendengar perkataan itu keluar dari ayah Ana dan hatiku ikut sakit saat ibunya hanya tertunduk diam tanpa berbuat apapun. Ana menangis, batinnya hancur tatkala ayahnya sendiri mencap dia sebagai sampah.
            Malam itu, Ana tak mau makan dan meminum obatnya. Dia menghubungi kakaknya dan menceritakan semuanya. Sang kakak mencoba menghubungi ibu dan akhirnya terdengar ketukan di pintu kamar Ana. Rupanya ibunya berusaha membujuk Ana dengan berkata, “Nduk, ayo makan dulu. Nanti perutmu kambuh lagi kalau tidak makan. Besok kita jalan-jalan ke pasar ya? Ibu akan belikan apapun yang kamu minta.” Memang, uang tak bisa membeli kebahagiaan, tetapi kita bisa memakai uang untuk membeli barang yang bisa membuat kita bahagia. Ironis memang, tapi begitulah kisah Ana yang terus berlanjut hingga akhirnya dia berhasil keluar dari rumah itu untuk kedua kalinya. Dia berhasil diterima di salah satu PTN dengan jurusan berbeda dari sebelumnya. Impian dia menjadi dokter hewan sudah kandas bersama penyakit maag kronis yang berakar dari rasa hati yang tertekan sekian lama.
            Kali ini memang nampaknya perjalanan kuliah Ana lebih mudah daripada sebelumnya. Nilai Ana memang pada awalnya bagus, tetapi saat dia gagal mendapat IP di atas 3,5 sang ayah pun tak mau berbicara lagi padanya. Ana yang kembali kecewa, menatap cermin besar berbingkai kayu hitam di kamarnya dan berkata pada pantulan, “Siapa kamu sebenarnya? Adakah kamu nyata di mata keluarga atau hanya membebani mereka karena kegagalanmu menjadi sempurna? Sudahlah, akhiri saja semua agar mereka bisa mengerti bahwa anak itu bukan sekedar untuk dimaki-maki, tetapi anak juga punya hati.” Ana mengambil pisau cutter dan mulai mengukir pergelangan tangannya.
            Aku berpikir mungkin ini akhir cerita Ana, tetapi ternyata nyawa Ana terselamatkan saat teman sebelah kamar memergokinya. Dia dibawa ke rumah sakit dan opnam di bangsal jiwa. Orangtua Ana merasa terpukul karena tindakan Ana mengakhiri hidupnya. Beberapa dosen Ana yang menjenguknya pun hampir tak percaya bahwa Ana bisa senekat itu. Dia selalu nampak aktif di kelas dan nilainya tak seburuk apa yang ayahnya kira. Sepulangnya dari rumah sakit, Ana justru difitnah di kostnya yang akhirnya membuat Ana memutuskan pindah kost ke tempat yang lebih berempati. Namun tak disangka, Ana mengulang kembali perbuatannya. Kali ini Ana mengaku dia melakukannya karena dia mendengar ada suara di dalam kepalanya yang berkata bahwa Ana adalah sampah yang pantasnya mati saja. Ana kembali opnam di bangsal jiwa setelah mencoba bunuh diri dengan meminum semua obatnya. Kali ini Ana diawasi lebih ketat di kamar terpisah dari pasien lain. Setiap hari dia selalu didampingi perawat untuk mencegahnya melakukan tindakan berbahaya.
            Ana mencoba kabur dari rumah sakit sehari tiga kali. Saat dokter yang menangani Ana tiba, dokter beranggapan Ana mengalami gangguan halusinasi karena Ana berkata dia disuruh kabur dari rumah sakit oleh suara di kepalanya. Akhirnya dokter memberikan terapi baru selain obat minum. Setiap dua hari sekali, dokter memberikan terapi kejut listrik atau Electro Convulsive Therapy (ECT) pada kepala Ana dengan harapan bisa menata kembali memori jangka pendek yang menyebabkan Ana mengalami halusinasi. Lima kali sudah Ana mendapat terapi itu dan batin ibunya terkoyak setiap melihat dokter dan perawat mengelilingi tubuh anaknya yang tengah diterapi.
            Melihat kejadian itu, aku ingin berteriak mencoba mencegahnya, tetapi aku tak lebih dari bayangan yang diperlihatkan kisah kelam Ana. Aku menutup mata sejenak sambil mencoba mengambil napas dalam-dalam. Saat aku membuka mataku, rumah sakit itu sudah hilang. Aku kembali ke kamar gelap tadi dengan ditemani lentera mungil. Aku sudah keluar dari dunia cermin dan kini berdiri tegak di depan bayangan yang terpantul. Sosok pantulan itu tersenyum sambil berkata, “Sudahkah kau ingat siapa dirimu sebenarnya?” Aku yang masih mencoba menggapai udara, sulit memahami maksud pertanyaan itu. Sebelum aku menjawab, pantulan itu kembali berkata, “Kamu adalah aku. Kita sosok yang sama, hanya berbeda masa. Sudahkah kau memahaminya?” Aku masih mencerna pertanyaan pantulan cermin.

Untuk terakhir kalinya, pantulan itu berkata, “Jangan meratapi masa lalumu, Ana. Semua sudah terjadi. Itu bukanlah akhir segalanya. Yang terpenting adalah kamu mengingat bahwa dirimu tak selemah dugaanmu. Kamu tak perlu takut menatap masa depanmu. Seperti spion, kamu boleh sesekali menengok ke belakang agar tak salah langkah, tetapi kamu tetap harus menatap ke depan agar tak menabrak sesuatu. Ingatlah, Ana, masa lalumu memang yang membentuk karaktermu, tetapi pilihanmu sekaranglah yang menentukan siapa dirimu sebenarnya.” Kini aku tersenyum melihat pantulan di cermin itu. Lentera mungil yang tadi kupegang sudah menyala di dalam hatiku dan aku bisa melihat sebuah pintu terbuka lebar. Aku berjalan keluar dari sebuah ruang bernama kenangan dengan nyala lembut api harapan dalam batin dan pikiran. Aku telah menang.


You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts