Oleh : Swam*) Jika ditilik ke masa lalu, sungguh ada suatu waktu dimana aku merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah. Masih teringat de...

You Don't Know

/
0 Comments
Oleh : Swam*)

Jika ditilik ke masa lalu, sungguh ada suatu waktu dimana aku merasa tidak nyaman dengan kondisi rumah. Masih teringat dengan jelas sore itu dikala bundaku menceritakan yang terjadi sebenarnya di keluargaku. Dari perselingkuhan, hingga kata cerai seakan tingal menunggu saat untuk keluar. Sore itu, langit sedang terguyur hujan deras. Entah ingin ikut menjadikan suasana ruangan yang menjadi semakin sesak, atau justru menemani tangis yang merebak keluar dari matanya dan mataku.

Sore itu, aku baru kembali dari sekolah. Suatu masa yang dianggap “normal” pulang sore karena persiapan UN. Yap, aku kelas 3 SMA saat itu. Pulang sekolah dan lanjut les bimbel dianggap suatu kewajaran yang melanda siswa akhir kelas. Aku berharap, sampai rumah kondisi baik-baik saja. Karena aku memang mengharapkan suasana yang nyaman, setidaknya 3 hari sebelum UN berlangsung. Namun, jika memang waktu menginginkan untuk menjadi berbeda, apa yang bisa kuharapkan?

Sore itu, langit terlihat mendung, ku naikkan tempo berjalan karena aku ingin menghindari hujan, setidaknya saat itu aku ingin menjaga kondisi tetap fit sebelum ujian nasional berlangsung. Saat aku pulang, rumah berada dalam kondisi sepi. Lampu yang biasanya dinyalakan ketika mendung dibiarkan mati begitu saja. Aku mengucapkan salam sambil membuka pintu. Kudengar jawaban salam itu sangat pelan, tidak seperti biasanya yang cukup terdengar. Suasana sepi. Padahal biasanya aku mendengar kicauan adikku yang bungsu dengan adikku yang nomor 2 tentang permainan game di laptop. Aku masuk ke dalam rumah dan aku melihat bunda, sesosok yang ku kagumi, duduk sendirian di ruang keluarga. Baru saja aku mau bertanya kenapa , beliau langsung mengatakan “ganti baju, makan, lalu segera kesini. Bunda mau cerita”

Dari nada suaranya, aku tahu hal ini bukan berita baik. Aku segera naik ke lantai 2, berjalan dengan cepat menuju kamarku karena aku tidak ingin membuat beliau menunggu begitu lama. Entah karena memang begitu atau untuk segera tahu, alasan yang membuat suasana dirumah menjadi tidak begitu nyaman.

Aku mengganti baju seragam dengan baju rumah dengan tumpukan pertanyaan. Makanan yang telah disiapkan dengan lauk kesukaanku terasa hambar dan mengganjal di tenggorokan. Rasa lapar yang sedari tadi menghantui menjadi hilang. Hari itu aku tidak bisa menghabiskan makan siang seperti biasanya. Aku segera membereskan makan siangku dan menemui beliau di ruang keluarga.

Masih teringat di ingatanku saat itu hujan mulai turun. Suasana menjadi semakin dingin. Kuperhatikan raut muka beliau yang tidak seperti biasanya. Ada bekas air mata di pipinya. aku tak bisa mengingat berapa lama beliau bercerita, namun 1 hal yang kuingat dari cerita waktu itu : beliau adalah wanita tangguh yang pernah ku jumpai.

Dari cerita beliau, aku mengetahui banyak hal. Tentang kasus perselingkuhan ayahku, aku yang seharusnya memiliki seorang kakak bernama “dimas” , hingga kata “bercerai” seakan sudah didepan mata. Saat itu ayahku sedang pergi dinas ke luar kota, dan kedua adikku sedang disuruh pergi bermain. Hal ini untuk mencegah adikku mendengar, dan menurut beliau, belum pantas mereka untuk mendengar kisah tersebut.

Begitu banyak cerita hingga dinding penghormatan di diriku terhadap ayah seakan lenyap. 2 hari setelah nya, saat ayahku pulang, yang kulihat bukanlah sosok laki-laki yang kuhormati seperti sebelum ia pergi, namun telah berubah.

Suasana dirumah menjadi berubah. Aku menyadari diriku telah menjadi sosok yang keras kepala , susah dibilangin, berontak, dan judes. Aku saat itu sedang bingung, bagaimana harus menyikapi kembali sikapku? Aku dilanda kebingungan, antara menyikapi seperti sedia kala atau justru bertahan dengan ketidak-respect ku kepada ayah. Mengingat beliau yang telah melukai ibuku berulang kali. Aku tidak bisa menghadapi lagi ayah seperti sedia kala. Jika beliau bicara aku cenderung membantah. Hingga ayah jadi sering marah-marah di rumah. Apalagi jika beliau ada masalah di kantor, pasti akan terefek dirumah hingga situasi semakin tak nyaman.

Situasi di rumah sungguh tidak nyaman. UN semakin dekat, 1 hari menjelang. Pikiranku masih tak menentu. Ingin rasanya melarikan motor, menginap di rumah salah 1 teman dan melupakan semua yang terjadi. Namun ayahku yang keras tentu tidak mengijinkan aku pergi menginap. Aku dididik seperti “pingitan”. Tidak boleh main kemanapun. Pulang sekolah wajib pulang. Tidak boleh mampir. Masih teringat di benakku saat aku main kerumah sahabatku saat SMP. Saat itu pulang sekolah jam 1, dan jam 3 aku sudah dijemput untuk pulang kerumah, hingga sahabatku menjuluki orang tuaku “over protective”. Jikalau bermain saja dijemput, apalagi main ke luar? Apalagi menginap? Tentu urusan bisa menjadi lebih runyam.

Aku stress. Situasi dirumah tak mendukung untuk belajar. Yang ada hanya kejengkelan, marah, kecewa, sedih semua meluap menjadi 1. Aku melewati UN dengan perasaan tidak menentu, namun aku memiliki semangat untuk membahagiakan bunda setelah lulus. Berpegang pada semangat itu,  aku bisa melewati UN dengan baik dengan nilai rata-rata 8,3. Meski tidak sesuai dengan target awalku yang 8.5 keatas.

Seusai UN, aku dihadapkan kebingungan melanjutkan kemana. Minatku yang ingin menjadi guru ditentang oleh ayah. Aku hanya dihadapkan 2 pilihan oleh ayahku : masuk ke psikologi atau pendidikan bahasa inggris dan asing.

Aku capek. Untuk pertama kalinya aku menentang keinginan ayah. Sudah cukup saat jenjang sekolah aku manut dengan pilihannya. Saat SD aku disuruh pindah sekolah oleh ayah, meninggalkan banyak teman dan sahabat disana. Hanya karena ayah menilai “kualitas” di sekolah tersebut sudah jelek. Begitu pula dengan SMP dan SMA. Bahkan aku terpaksa meninggalkan SMA keinginanku untuk masuk ke SMA rekomendasi ayah, hanya karena ayah menilai “kualitas”nya lebih baik dari SMA keinginanku. Jujur saat SMA, jika orang lain berkata “masa paling indah adalah masa SMA” maka aku berkata “Masa SMA masa paling membosankan”. Aku sering merasa malas masuk ke sekolah saat sma, karena sekolah tersebut bukan tempat yang aku inginkan sejak awal. Mengingat hal tersebut, aku tidak mau masuk ke jurusan yang akhirnya membuatku malas. “aku ingin memilih jurusanku sendiri” kataku waktu itu.

Aku mengumpulkan beberapa lembar pamflet kuliah dan aku menemukan 1 jurusan yang aku merasa jarang ada , yakni “sarjana keperawatan”. Aku membaca teliti dan entah kenapa hatiku tertarik dengan jurusan tersebut. Ada 2 pilihan, luar kota dan dalam kota. Keinginanku saat itu untuk masuk keperawatan ditentang oleh ayah. Aku berusaha memohon sedemikian rupa dan akhirnya diijinkan dengan syarat ambil yang di dalam kota. Ayahku meremehkan diriku yang tidak sanggup di keperawatan. Namun, dengan semangat, belajar tekun, aku yakin bisa membuktikan bahwa aku bisa di keperawatan,

Aku bersyukur saat itu mahasiswa tahun pertama diwajibkan untuk asrama selama 1 tahun. Setidaknya, aku bisa melepas dari situasi rumah yang masih terasa tak nyaman. Aku belajar dengan tekun di asrama, dan berhasil membawa IPK 4,0 selama 3 semester. Ayahku luluh. Aku melanjutkan belajar dengan tekun dan berdoa terus kepadaNya hingga akhirnya berhasil mendapat status cum laude di ijasah.

Ada 1 hal yang menarik perhatianku saat aku menjadi mahasiswa praktikan saat S1 dulu. Saat itu, aku masuk ke stase gawat darurat, sehingga otomatis aku jaga di Unit Gawat Darurat (UGD) salah 1 rumah sakit yang cukup besar di daerah temanggung. Saat itu aku sedang dinas siang, baru saja selesai operan jaga , sebuah mobil pick up mengklakson dengan tempo yang cukup cepat. Dugaan kami mahasiswa praktikan dengan perawat senior sama, yakni ada pasien gawat, dan ternyata benar. 

Ada 3 pasien datang setelah mengalami kecelakaan yang cukup hebat. Korban berumur 17, 10 dan 7 tahun. Kami dibagi oleh perawat senior untuk menghandle pasien. Kebetulan saat itu aku dinas bertiga dengan temanku, sehingga kami langsung dibagi 1 pasien 1.Aku dapat pasien yang berumur 17 tahun.

Secara sekilas, tidak tampak ada luka di tubuhnya. Namun jika dilihat lebih teliti, maka ada masalah yang lebih gawat pada pasien tersebut, yakni cedera kepala berat dengan kemungkinan fraktur basis cranii (bagian dalam kepala). Ketika mulutnya  dibuka, tampak genangan darah telah penuh, sehingga harus dilakukan tindakan suction, untuk menyedot darahnya. Pasien segera dipasang monitor, dan alat ukur kadar oksigen dalam darah. Kadar oksigen terus menurun. Tidak meningkat. Denyut jantug semakin melemah, hingga akhirnya tidak teraba. Aku berulang kali melakukan tindakan resusitasi jantung atau RJP , hingga akhirnya dokter memeriksa, menginstruksikan henti RJP dan pasien dinyatakan meninggal.

Masih teringat dalam memoriku bagaimana reaksi keluarga pasien yang dinyatakan meninggal. Ayah pasien langsung pergi dari tempat kerjanya, si ibu meninggalkan kegiatan memasaknya di dapur. Aku masih mengingat bagaimana raut muka dan tangis sang ayah ketika berada di samping pasien dan bagaimana reaksi histeris sang ibu saat anaknya telah tiada. Bahkan teriakan si ibu “Owalah to le.. jare lungo sedilit kok malah lungomu adoh” (owalah to le*, katanya pergimu sebentar kok perginya malah jauh) bahkan kata-kata sang ayah, “le, iki bapakmu neng kene, tangio le” (le*, ini ayahmu sudah disini, bangunlah) sambil menepuk pundak anaknya berkali-kali.

Hal itu langsung menggugah ingatanku tentang kejadian saat aku kelas 3 SMA. Cerita tentang skandal keluarga hingga situasi tak nyaman itu kembali hadir. Dan aku merefleksikannya dengan kejadian saat itu.

Bagaimanapun beratnya situasi dalam keluarga, yang menyebabkan dirimu pernah merasa sesak dan tidak nyaman..
Ingatlah bahwa orang tua itu selalu mendoakan untuk kita, keselamatan untuk kita, dimanapun kita berada.
Di darahmu mengalir darahnya kedua orang tuamu. Kau sepatutnya tidak usah membenci kedua orang tuamu karena tindakan yang mereka lakukan.
Iya, tindakan yang dilakukan mereka adalah salah. Namun jangan lupa bahwa mereka adalah orang tuamu.
Mungkin kau pernah membenci salah 1 sari orang tuamu, namun jangan lupa bahwa :
Ketika kita lahir, adzan dari ayah lah yang membisiki kita pertama kali di dunia,
Air susu ibu lah yang menjadi makanan kita pertama di dunia..
Ayah telah berusaha keras untuk menafkahimu,
Ibu yang berusaha keras menahan beratmu ketika mengandung..
Jika kau bisa merasa, mengetahui dan menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh salah satu orang tuamu adalah suatu kesalahan, maka bersyukurlah.. karena dengan begitu kau bisa menjadi pribadi dewasa yang bijak dengan tidak melakukan hal tersebut..
Jika aku merefleksikan kejadian di UGD siang itu dengan kejadian yang lalu, contoh soal sekolah pendidikanku waktu itu, mungkin aku bisa memahami.. bahwa mungkin orang tuaku, terutama ayah, hanya menginginkan yang terbaik untukku… yang terbaik untuk masa depanku..
Jika sekarang kau bertanya padaku, bagaimana perasaanku saat ini , terutama pada ayahku?,
Maka aku akan berkata , “aku memaafkaannya, dan aku akan menghormati beliau, sekarang dan selamanya”

Remember, you may choose to hate them , or one of them because of their fault and attitude. But don’t forget that you also have a choice to forgive them and love them.
Maybe the time hasn’t come for you to forgive them.. but you don’t know when the time is coming. And as soon as the time is coming, you just can to forgive , accept, and love them. Believe it.
Love,
Swan


| Catatan : Le : panggilan untuk anak laki-laki bagi orang jawa. 

*Nama penulis adalah nama samaran.


You may also like

Tidak ada komentar:

Total Tayangan Halaman

Pencarian

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Most Trending

Popular Posts